Mengulik Sisi Gelap Kehidupan Nyaman di Korea Selatan
Korea Selatan, sebuah negara maju yang tampak sangat nyaman untuk ditinggali. Negeri ini berbudaya apik, serta sangat terjamin dalam hal keamanan. Namun siapa sangka, ada ‘sisi gelap' yang bersembunyi di balik glamornya kehidupan Korea Selatan.
Sebuah pertanyaan seringkali didengungkan oleh kalangan ekspatriat Korea Selatan. “Anda ingin tinggal di surga yang membosankan atau pergi ke neraka yang lebih menarik?”
Pertanyaan ini muncul dari benak mayoritas warga Korea yang bimbang hendak bertahan untuk tetap tinggal di negaranya, atau mengambil kesempatan untuk pergi meninggalkan Korea dan menengok kehidupan di luar sana. Alasannya, jumlah penduduk di Korea Selatan sudah sangat padat sehingga membawa masyarakat pada akibat-akibat yang tak terhindarkan.
Sebagai contoh, Orang-orang di Korea Selatan tinggal di sebuah apartemen kecil dengan harga yang selangit. Untuk menyewa satu unit kamar saja, dibutuhkan uang muka (biasa disebut ‘uang kunci') sebesar puluhan ribu USD. Untuk apartemen, lebih mahal lagi, buang muka sewanya bisa mencapai ratusan ribu dolar.
Tak mengherankan jika kemudian muncul istilah ‘Officetel'. Anda yang belum pernah ke Korea pasti asing dengan istilah ini. Officetel adalah semacam gabungan Office (kantor) dan Hotel yang memungkinkan pemiliknya memasukkan ruang kerja di dalam area tempat tinggalnya yang sempit. Di Indonesia kita menyebutnya dengan Ruko (Rumah Toko).

Officetel – Ruang kerja dan tempat tinggal jadi satu
Kenyataan ini menunjukkan betapa kecilnya kesempatan untuk mendapat akses ruang pribadi di Korea Selatan. Tak berbeda Jauh dengan di Indonesia, orang-orang di Korea Selatan hidup serumah dengan orangtua mereka hingga tiba saatnya mereka menikah dan mampu menyewa apartemen sendiri. Untuk mendapatkan Private spot, kaum muda Korea Selatan harus rela mengeluarkan budget tambahan untuk menyewa DVD Room atau Love Motel jika ingin menyendiri bersama pasangan.
Berpikir untuk mengasingkan diri ke Pantai? Taman Bermain? atau ke Gunung? Sebaiknya urungkan saja. Kebosanan yang melanda sebagian warga Korea membuat mereka memutuskan mencari hiburan di tempat-tempat rekreasi. Hasilnya, hanya terlihat lautan manusia yang tumpah di pusat rekreasi tersebut.
Kebosanan ini belum lagi ditambah dengan jam kerja yang sangat panjang. Berdasarkan data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Korea Selatan menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan jam kerja terpanjang di dunia setelah Meksiko dan Kosta Rika. Dalam setahun, rata-rata warga Korea Selatan menghabiskan 2.193 jam untuk bekerja.

Jam kerja negara-negara OECD
Lalu, bagaimana cara mereka melepaskan diri dari semua ketegangan hidup? Mereka minum minuman keras hingga mabuk. Melihat orang-orang tertidur dengan pakaian kerja di emperan toko pada pagi hari tentu bukan pemandangan baru di Korea Selatan.
Masyarakat Korea Selatan juga sangat akrab dengan prostitusi, yang juga masih dipandang ilegal di negara ginseng tersebut. Sanksi hukum dan tindakan tegas kepolisian jelas mengintai. Namun, menurut The Korea Women's Development Institute, perdagangan seks di Korea mencapai 1,6% dari PDB Nasional, yang diperkirakan berjumlah sekitar 14 triliun won atau sekitar Rp 159 triliun. Laki-laki dewasa dengan rentang usia 20-64 tahun rata-rata menghabiskan 693.000 won per bulan untuk urusan yang satu ini. Uniknya lagi, hasil studi yang dilakukan oleh Medical college of Korea University menyatakan bahwa 23,1% laki-laki dan 2,6% perempuan di Korea Selatan memiliki pengalaman seksual pertama mereka dengan PSK.
Kini, pilihan sepenuhnya ada di tangan Anda. Pikirkan lagi jika Anda ingin menetap di Korea Selatan. Korea Selatan memang menawan bagi generasi muda dengan ritme hidup yang serba cepat. Namun, sekalinya menua, apakah Anda mau tetap hidup berdempetan dengan sistem dan norma yang menekan kehidupan Anda?